Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Global Warming

Pemanasan Global (Global Warming) adalah dimana manusia sebagai makluk social dan sekaligus makluk Tuhan, telah melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari akhidah agama. Manusia berbuat tanpa memperhitungkan dampak yang akan terjadi, sehingga perbuatan manusia tersebut merusak alam. Segala kehidupan sudah tidak lagi nyaman, dimana-mana terjadi perusakan dan pembunuhan makluk hidup.

Ekosistem telah hancur, jaringan kehidupan sudah putus dan kehidupan tak lagi mampu melakukan regenerasi. Dengan demikian segala kehidupan spesies akan teracam punah, dan yang tersisa hanyalah bermacam-macam penyakit. Sementara lapisan ozzon mulai menipis yang akhirnya sinar matahari dengan mudah membakar bumi dan seisinya.

Akibat Global Warming …
1. Hujan badai, hujan es dan kekeringan
2. Gempa bumi, Gelombang Tzunami
3. Semburan Lumpur lapindo
4. Keluarnya bola-bola api di lautan
5. Epidemi 30 jenis penyakit baru (Flu burung, antrax, dll)
6. Abrasi pantai
7. Kesulitan air bersih, Mencairnya es di kutub
8. Perubahan iklim secara ekstrem, Gagal panen
9. Naiknya air permukaan laut
10. Jatuhnya perekonomian (Krisis Global)

Menurut Stephen Hawking, ahli Fisika…
“Hati-hati, ancaman perang nuklir sudah lenyap, tetapi bakal ada yang jauh lebih parah. Kalau perang dunia hanya membunuh ratusan ribu orang, tetapi Global Warming bisa membunuh jutaan orang”.

Menurut Gregroy R. dari Universitas terkenal di AS…
“Pemanasan Global bisa menyebabkan ledakan gas metana yang besarnya 10.000 kali lipat dari pada ledakan yang ditimbulkan seluruh nuklir di dunia. Juga bisa menyebabkan lautan api dan banjir yang maha besar sehingga menyebabkan kepunahan 90% spesies laut dan 75% spesies darat”.

Menurut Zwally dari Naza…
“Es di kutub akan jadi lenyap pada akhir musim panas 2012. Konon es di kutub berfungsi memantulkan 80% panas matahari yang sampai ke bumi. Kalau es menyusut, maka air laut makin hangat, bumi makin panas. Lalu gas metana terlepas dari lautan. Gas yang terlepas akan membunuh semua spesies di dunia”.

Menurut Mrs. Martin dari Universitas Chicago…
“Kalau kita tidak makan daging, ikan, unggas, susu dan telur maka kita akan dapat mengurangi 50% pemanasan global yang timbul dari tubuh kita”.

Menurut Rajendra Kumar Pachauri, ketua IPCC (Panel Perubahan Iklim).
Untuk melawan Global Warming dengan tidak makan daging, kendarai sepeda, dan berhematlah.

Apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan Global Warmming…?
1. Pangkas penyebab utamanya : yaitu dengan menjadi vegetarian/tumbuh-tumbuhan (hindari makanan berlemak seperti susu, daging, ikan, dan tas kulit, dsb).
2. Pangkas penyebab sampingnya : yaitu pemborosan energi, menggunakan barang-barang yang merusak lingkungan.
3. Lakukan penghijauan (Be Green).
4. Tingkatkan beribadah dan berdo’a kepada Tuhan.

Sumber dari : buku saku “Stop Global Warming”
www.SupremeMasterTV.com / www.greenpeace.org
READ MORE - Global Warming

UNAS = Berhala Pendidikan Indonesia



Setiap 5 bulan sebelum UNAS di laksanakan dan 1 bulan setelah UNAS di laksanakan, semua orang menbiacarakan tentang UNAS. Guru, karyawan sekolah, siswa dan orang tua siswa menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mensukseskan UNAS. Orang tua siswa di kumpulkan di sekolah untuk membicarakan UNAS, guru-guru sering rapat dengan agenda UNAS bahkan pejabat politis menghimbau semua jajarannya untuk berperan aktif mengsuksekan UNAS.
Kegiatan belajar di optimalkan, siswa di beri pelajaran tambahan/les UNAS, lembaga-lembaga pendidikan non formal di penuhi pelajar yang akan menempuh UNAS, siswa di ajak untuk mengerjakan soal-soal, kegiatan-kegiatan religius (do’a bersama, tirakatan dan meminta dukungan para normal), jam pelajaran di tambah bahkan jam mata pelajaran yang bukan materi UNAS bisa dipakai untuk jam pelajaran UNAS.. Disini timbul permasalahan, bahwa mata pelajaran yang bukan materi UNAS dipandang sebagai pelajaran yang tidak penting.

Bagi orang tua yang kurang percaya dengan guru di sekolah, mereka akan membawa anaknya masuk pada lembaga pendidikan non formal. Ikut les tambahan pada lembaga pendidikan non formal adalah salah satu jurus yang paling diminati untuk mensukseskan UNAS.

Setiap guru di depan siswa, selalu membicarakan tentang UNAS. Kepala sekolah sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan UNAS. Sementara siswa lebih suka merenung dan berdiam diri membayangkan seandainya dirinya tidak lulus. Ketika diadakan uji coba UNAS dan siswa yang tidak lulus menjadi bingung, putus asa, stres dan akhirnya menangis tanpa ada sebab yang jelas.

Kemampuan intelegensi siswa pastilah beragam, tetapi dalam menghadapi UNAS semua siswa di paksa untuk bisa mengerjakan soal yang sama. Sehingga dalam pelaksanaan UNAS tidak ada perbedaan antara sekolah kota dan desa, anatara anak orang kaya dan anak orang miskin. Namun betapa sulit dan berat, mau tidak mau UNAS harus dihadapi semua siswa di seluruh Indonesia.

Lebih mengherankan lagi bahwa guru-guru yang mengajar materi mata pelajaran UNAS, tidak boleh mengawasi pelaksanaan UNAS, tidak boleh masuk atau mendekati ruang UNAS, tidak boleh mengkoreksi hasil UNAS dan tidak boleh menilai hasil UNAS siswanya. Berarti guru-guru tersebut hanya boleh mengajar dan harus menanggung resiko apabila ada siswanya yang tidak lulus, serta harus mempertanggungjawabkan selama mengajar kepada kepala sekolah, siswa, orang tua siswa  dan masayarakat sekitarnya.

Inilah berhala zaman baru yang sedang di puja-puja kaum intelektual dan calon-calon Intelektual Indonesia. Semoga berhala ini cepat sirna dan kaum intelektual tersadar untuk kembali pada pendidikan yang membumi.

Source : www.estib3.blogspot.com
READ MORE - UNAS = Berhala Pendidikan Indonesia

Efektifitas Pengajaran Bahasa Inggris di RSBI

Konferensi Internasional bertema “Language, Education, and Millenium Development Goals (MDGs) pada 11 November 2010 di Bangkok, Thailand menyimpulkan bahwa penggunaan bahasa asing di sekolah-sekolah di Indonesia yang berstatus rintisan internasional dinilai tidak efektif. Sebabnya adalah tidak ada standar pengajaran yang jelas sehingga masing-masing guru di setiap sekolah mengajar materi berbeda-beda dengan metode pengajaran yang berbeda pula. Kesimpulan tersebut dipaparkan oleh Danny Whitehead, Head of English Development British Council dari hasil penelitian Stephen Bax, dari University of Bedfordshire, Inggris (Kompas, 12/11/2010).

Penelitian itu juga menyebutkan bahwa ketidakefektifan pengajaran bahasa asing disebabkan oleh rendahnya kemampuan guru berbahasa Inggris. Menurutnya, tidak mencapai 25% guru yang ada di sekolah RSBI yang menguasai bahasa Inggris dengan baik, dalam arti mampu berbahasa Inggris dengan baik dan menyampaikan materi pelajaran dalam bahasa Inggris. Selebihnya, adalah guru yang baru bisa berbahasa Inggris. Itupun pas-pasan. Dari pengamatan yang saya lakukan secara acak, malah ada beberapa guru bidang sains yang baru saja dikursuskan bahasa Inggris dan langsung ditugaskan mengajar di kelas yang mereka sebut sebagai kelas internasional. Bisa dibayangkan bagaimana hasil pengajaran seperti itu. Lebih konyol lagi ada guru yang merasa bisa bahasa Inggris --- karena dulu pernah kursus--- juga minta mengajar di kelas rintisan internasional.

Tampaknya perlu segera diluruskan bahwa seseorang mampu berbahasa Inggris bukan berarti mampu mengajar dalam bahasa Inggris. Ini dua hal yang berbeda. “Teaching English is not teaching in English”. Misalnya, alumni dari Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris sudah barang tentu memiliki kemampuan berbahasa Inggris lebih baik daripada alumni dari luar jurusan bahasa Inggris. Tetapi bagaimana mungkin dia bisa mengajar materi sains (biologi, fisika, dan kimia) yang bukan bidangnya. Sementara guru-guru bidang sains yang menguasai materinya tidak bisa berbahasa Inggris. Karena itu, jika praktik pengajaran seperti ini dipaksakan dengan alasan menjalankan amanah undang-undang, maka siswa dirugikan dalam dua hal sekaligus, yaitu :1). secara substantif siswa tidak mengerti apa yang disampaikan guru karena menggunakan pengantar bahasa Inggris --- yang dalam bahasa Indonesia saja belum tentu paham, dan 2).siswa memperoleh role model bahasa Inggris yang tidak bagus, mulai aspek gramatika, pilihan kosa kata, struktur kalimat, hingga pronunciation. Perlu diketahui bahwa kesalahan dari role model yang salah akan sangat sulit diperbaiki di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Selain merugikan siswa, praktik pengajaran seperti itu jutsru bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen di mana guru dituntut memiliki empat kompetensi dasar, yaitu: professional, pedagogik, kepribadian, dan sosial. Dari sisi kompetensi professional di mana guru dituntut mengajar bidang studi sesuai disiplin ilmu yang dikuasai, maka praktik pengajaran sebagaimana gambaran di atas justru tidak sesuai dengan nafas undang-undang yang dipakai sebagai payung hokum pelaksanaan.

Oleh sebab itu, hasil penelitian pakar tersebut mesti segera dijadikan bahan evaluasi kebijakan pemerintah tentang pendirian sekolah-sekolah bertaraf internasional yang menggunakan payung hukum Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Sebenarnya dalam undang-undang tersebut tidak disebutkan kata ‘harus’ menyelenggarakan satuan pendidikan bertaraf internasional di setiap daerah, yang jika tidak dilakukan akan diberi sanksi. Akibatnya, sebagaimana kita saksikan saat ini sekolah-sekolah rintisan menuju taraf internasional semarak di Tanah Air di semua jenjang pendidikan. Saya tidak mengerti siapa yang mereduksi redaksi bunyi undang-undang itu sehingga penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional seolah menjadi keharusan bagi setiap daerah dan satuan pendidikan.

Andai saja hasil yang diperoleh dari kebijakan ‘internasionalisasi sekolah’ tersebut efektif dan memuaskan semua pihak, terutama siswa dan orangtuanya, penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional tentu tidak banyak dipersoalkan orang. Tetapi kenyataannya status sebagai ‘rintisan internasional’ dijadikan dalih bagi pengelola pendidikan untuk menarik beaya pendidikan yang mahal. Alasannya, penyelenggaraan kelas internasional memerlukan sarana dan prasarana secara khusus, diperlukan guru dengan kompetensi dan kualifikasi khusus, manajemen secara khsusus dan seterusnya yang ujungnya semua memerlukan beaya pendidikan yang tinggi. Beaya pendidikan tinggi hanya akan bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Sementara sekitar 40 juta warga negara Indonesia tergolong berekonomi golongan menengah ke bawah. Kemudian muncul lagi pertanyaan klasik: apakah orang golongan ekonomi menengah ke bawah tidak boleh mengenyam pendidikan yang bermutu? Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap warga negara, apapun agama, warna kulit, bahasa dan sukunya. Karena itu, adalah kewajiban negara untuk menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas.

Kebijakan tentang internasionalisai pendidikan kini sudah berusia tujuh tahun sejak diundangkan. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan sangat cepat mengatasi persoalan ini dengan bijak. Sebagaimana pada tulisan saya sebelumnya “Segera Evaluasi RSBI”, saya bukan tidak setuju dengan kebijakan penyelenggaraan SBI atau RSBI. Tetapi yang menjadi persoalan adalah telah terrjadi simplikasi makna internasionalisasi pendidikan. Karena terjadi kesalahpaham atau ketidakmengertian baik di kalangan pengambil keputusan dan pengelola satuan pendidikan, maka tentu terjadi kesalahan implementasinya.

Bahasa Inggris memang salah satu bahasa internasional. Tetapi internasionalisasi pendidikan bukan sekadar menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, tetapi juga mulai sistem pendidikan, kurikulum, standar, dan kualitasnya yang internasional. Karena itu, sungguh tidak tepat jika berbahasa Inggris dijadikan satu-satunya ukuran penyelenggaraan kelas-kelas internasional.

Saya sedang merenung ke mana sesunggunya bangsa ini akan dibawa. Baru saja kita memperingati Hari Sumpah Pemuda yang pesannya adalah betapa nasionalisme bangsa terutama generasi muda penting dibangun melalui kesadaran berbangsa yang satu di tengah-tengah keragaman budaya, suku, dan agama, serta bahasa nasional yakni bahasa Indonesia, kita justru menguras tenaga untuk menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Saya bukan tidak suka bahasa Inggris, tetapi ingin menempatkan posisi bahasa Inggris secara proporsional. Bahasa Inggris diakui sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Hampir 90% publiksi ilmiah internasional tertulis dalam bahasa Inggris. Karena itu, tidak mungkin untuk menjadi ilmuwan tanpa menguasai bahasa Inggris. Tetapi bahasa Inggris tidak bisa menjadikan anak didik kita memiliki nasionalisme tentang ‘keindonesiaan’ yang tinggi. Jadi tanpa kita sadari telah terjadi paradoks dalam praktik pendidikan kita. Di satu sisi, kita ingin mengokohkan jati diri bangsa dan nasionalisme salah satunya melalui bahasa Indonesia sebagai bahsa nasional, tetapi di lain pihak kita menggelorakan semanagt pentingnya kekuasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris secara berlebihan. Karena itu, wajaar jika hasil UAN 2010 nillai bahasa Indonesia jeblok.

Sebagai alternatif solusi adalah kebijakan menginternasionalkan sekolah tetap dilaksanakan, tetapi tidak harus semua daerah dan sekolah mengembangkan sekolah rintisan internasional. Pemerintah menyeleksi dengan menunjuk para pakar pendidikan untuk menentukan mana sekolah yang layak untuk dikembangkan ke rintisan internasional. Karena itu, cukup ada beberapa sekolah saja yang memang layak untuk deprogram menjadi sekolah internasional daripada setiap sekolah dan di setiap daerah menyelenggarakan program internasional tetapi sebenarnya main-main saja.

Selanjutnya, sekolah yang dinilai layak terus dipacu dan dibina dengan ukuran standar yang benar-benar internasional. mulai dari aspek kurikulum, input, proses belajar, tenaga pengajar, manajemen, sarana, beaya, evaluasi hingga output nya. Kemampuan berbahasa Inggris guru-guru bidang sains yang mengajar di kelas internasional ditingkatkan pelatihan secara intensif di lembaga-lembaga pendidikan dan pengembangan bahasa Inggris yang credible., setidaknya selama enam bulan penuh dengan pembeayaan pemerintah. Tetapi jangan memaksa guru bahasa Inggris mengajar bidang sains yang memang bukan bidangnya. Mata pelajaran bidang sains tidak bisa diberikan lewat pelatihan sebagaimana bahasa Inggris. Sebab, sains adalah ilmu content, sedangkan bahasa (Inggris) adalah ilmu alat.

Selebihnya, sekolah yang dinilai tidak layak tidak perlu dipaksakan, tetapi ditingkatkan kualitasnya dengan prioritas utama pengembangan kompetensi dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikannya. Untuk menghasilkan lulusan yang kompettif tidak harus melalui internasionalisasi sekolah. Saya sangat yakin di tangan guru yang berkualitas akan lahir lulusan yang berkualitas pula. Sebaliknya, di tangan guru yang kualitasnya rendah, tidak akan pernah lahir lulusan yang bermutu, sekalipun lembaganya berlabel ‘internasional’.

Saya berharap pendidikan yang memiliki misi suci dan mulia tidak jadi salah arah dan fungsi. Para pengambil kebijakan di bidang pendidikan selayaknya memahami secara mendasar filosofis di balik setiap kebijakan yang diambil. Kesalahan pemahaman akan berakibat kesalahan pelaksanaan yang ujungnya adalah merugikan masyarakat. Sudah banyak sekali komentar, ulasan, bahkan penelitian tentang efektifitas penyelenggaraan sekolah-sekolah rintisan internasional yang dilakukan para pakar, pemerhati dan pecinta pendidikan sudah selayaknya dijadikan evaluasi oleh pemerintah agar pendidikan yang memiliki misi sangat mulia tidak bergeser ke praktik dan tujuan yang salah. Institusi pendidikan yang sarat nilai harus bersih dari kesalahan dan tujuan yang justru mencoreng pendidikan itu sendiri.

Tulisan sederhana ini sekadar urun rembuk untuk memberikan kontribusi pada perbaikan pendidikan di Tanah Air, tetapi diharapkan bermanfaat dan menjadi bahan renungan semua pihak, terutama pemerintah, para praktisi dan pengelola dan pecinta pendidikan.

Sumber: http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/efektifitas-pengajaran-bahasa-inggris.html
READ MORE - Efektifitas Pengajaran Bahasa Inggris di RSBI

 

Mengenai Saya

Foto saya
Guru Amatir, Memulai pendidikan dasarnya di kampung halaman yg dilanjutkan dengan pendidikan menengah di MTsN dan MAN Denanyar Jombang dan menyelesaikan Pendidikan tingginya di Harvard University(stiil in my dream he....). Saat ini sedang belajar menularkan pengalamannya di SMK Negeri 4 Malang

Pengikut